Sastra Menurut Ahli Bedah Sastra, Budayawan dan Sejarawan
Dari beberapa buku para ahli, yang menghiasi meja
perpustakaan kecil saya dan berhasil saya baca, semakin luaslah capaian
pengertian sastra. Saat itulah mata kita terbuka lebar dalam memandang dunia
sastra dari sisi yang beragam. Keprihatinan para ahli dalam mempertahankan
kedudukan penting sastra sebagai bagian dari bahasa, telah menghasilkan
berbagai penelitian dalam mengembangkan bidang ilmu tersebut.
Dalam Bunga
Rampai Bahasa, Sastra dan Budaya, kesusastraan bagi Achdiati Ikram adalah
sebuah sarana untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatu
bangsa atau kelompok manusia[1], yang dengan
keanekaragaman menjadikan air jernih bagi para peneliti bahasa dan sastra;
sebagai telaga yang tak pernah kering.
Penuturan Akhdiati Ikram dalam tulisannya, tidaklah
salah. Karena pengertian sastra tersebut membawa kesan yang bermanfaat dan
masuk dalam tatanan keberadaan masyarakat kita yang senantiasa mempertahankan
nilai ketimuran, terlepas dari upaya mempersatukan nilai positif antara barat
dan timur seperti dalam sajak Wolfgang Von Goethe, yang menyebutkan ‘barat dan
timur adalah sama’. Pengertian sastra tersebut di atas telah mewakili kekokohan
kedudukan sastra sebagai sebuah kreasi. Dan kreasi itu juga bias muncul dari
adat beserta nilai-nilai yang bergulir dalam kehidupan sehari-hari suatu
masyarakat.
Lain lagi pendapat yang dipaparkan oleh A. Teeuw,
seorang pengamat sastra Indonesia dari Belanda. Doktor Honoris Causa,
Universitas Indonesia pada tahun 1975 ini menyebutkan kerangka sastra Indonesia
dalam hubungan kelisanan (orality)
dan keberaksaraan (literacy)[2].
Pandangannya yang menarik perhatian public tentang aspek kelisanan dan
keberaksaraan dalam sastra maupun bahasa Indonesia, merupakan sejumlah aspek
penting dan bersifat praktis, namun seringkali dilupakan oleh kebanyakan
pengamat sastra.
Maka kemudian, diperoleh sebuah kesimpulan, bahwa
sastra adalah hasil dari daya kreasi masyarakat, yang tidak hanya menyinggung
masalah keberaksaraan. Namun jauh dari pada itu, aspek kelisanan merupakan hal
yang menting untuk dimunculkan ke permukaan sebagai sebuah karya sastra, dan
memiliki kedudukan yang layak untuk sebuah pengertian tentang kesusastraan.
Ingat, Soekarno, presiden pertama RI, selalu menggunakan tutur bahasa yang
indah, menggoda dan berapi-api. Sehingga mampu mengalihkan semua pendengaran
para audiensnya.
Itulah pandangan seorang pengamat sastra. Bagaimana
bila sastra ditinjau dari pandangan aspek sejarah? Berikut ini yang ditempuh Dr
Ismail Hamid dalam mendefinisikan Kesusastraan Indonesia, dengan interpedensi
keterlibatan kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. Menurut
tinjauan beliau, sebelum kesusastraan berupa tulisan, telah terlebih dahulu ada
kesusastraan rakyat. Kongkret dari kesusastraan ini ditandai dengan adanya
hikayat, mantra, ilmu kalam dan beberapa jenis lainnya[3] yang berkembang di
masyarakat. Jadi, cukup jelas bahwa pengaruh agama sangatlah mendominasi
lahirnya kesusastraan pada saat itu. Kesimpulan yang bisa kita ambi,
karya-karya kesusastraan Indonesia lama adalah kalam (ucapan) sebagai media yang digunakan untuk menyampaikan
ajaran Islam.
Dalam sejarah, sebuah peristiwa terjadi sekali.
Namun, dalam wilayah kesusastraan, melalui sebuah pesan konkret, maka suatu
peristiwa dibeberkan berkali-kali dengan lebih umum dan luas pada saat yang
berlainan dengan terajadinya peristiwa tersebut. Bermula hal tersebut di atas, maka
Jan van Luxemburg mengenalkan pengertian sastra secara historikal. Di sini
dijelaskan tentang kesepahaman dua kaum dalam zaman yang berbeda; kaum romantis
dan kaum formalis[4].
Kaum romantis menyebut sastra sebagai sebuah ciptaan (creation), yang mengandung keselarasan antara bentuk dan isi.
Namun, kamu formalis berkata lain. Bagi kaum ini, kesusastraan ditentukan oleh
letak penyajiannya. Kiasan yang berawal dari kreasi untuk mengumpamakan
sesuatu, dianggap sebagai teks naratif bagi sebuah peristiwa yang diujarkan
dalam pengungkapan bahasa kias tersebut. Sebagai contoh: Bulan tertusuk lalang. Bagi kaum romantis bahasa itu masih
mengandung logika kata walau jauh dari logika peristiwa. Namun, hal itu akan
ditolak oleh kaum formalis sebagai bahasa sastra. Akan lebih tepat bila
ditulis: Bulan terhalangi ilalang.
Sastra Menurut Non-Ahli
Sebagai non-ahli, tak ada
sedikit gambaran tentang pengertian sastra yang pemahamannya murni dari dalam
diri saya. Akhirnya, saya mencoba memahami arah ‘kreasi’ para pemilik pengertian
kesusastraan. Saya bertanya kepada mesin pencari digital ‘Google’, saya menemukan 79,200 halaman web, yang di
dalamnya mengandung kata ‘kesusasatraan’. Kalau saya telusuri satu-persatu
halaman di mesin pencari digital
tersebut, maka habislah waktu saya untuk menelusuri pengertian kesusastraan.
Bagitulah kebingungan yang melanda seorang non-ahli seperti saya.
Dalam sebuah halaman
Wikipedia disebutkan, Sastra (Sanskerta:, shastra) merupakan kata serapan
dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi"
atau "pedoman". Berasal
dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa
Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada ‘kesusastraan’ atau sebuah jenis tulisan
yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata ‘sastra’ bisa
pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.[5]
Wah, pengertian bergaris bawah sangat kontradiktif
sekali dengan pengertian-pengertian yang saya temukan dalam makalah dan
sumber-sumber lainnya. Kalau ditelusuri, Wikipedia adalah perusahaan yang
menaungi lembaga Ensiklopedia dunia, yang bebas diedit oleh para pengguna yang
membuka halaman tersebut. Maka kemudian, hal itu mengingatkan saya kepada para
pemuja GSM (Gerakan Syahwat Merdeka), dibawah naungan TUK (Teater Utan Kayu).
Jangan-jangan, istilah terakhir tersebut ditambah oleh para dedengkot TUK.
Karena media Wikipedia dibaca dunia, maka saya menghilangkan pengertian
bergaris bawah tersebut.
Bagi saya, pengertian kesusastraan sangatlah
sederhana. Kesusastraan adalah sebuah tradisi tutur-menutur, baik secara lisan
maupun tulisan, untuk menyampaikan pesan yang baik dan benar. Kesusastraan merupakan
sesuatu yang agung dalam berbagai bentuknya. Bukanlah karya yang statis,
melainkan terus bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Beragam
bentuk atau model kesusastraan yang dewasa ini berkembang dan diterima di
tengah masyarakat justru akan semakin memperkaya khazanah kesusastraan yang
dimiliki bangsa Indonesia.
[1]
Dalam sebuah makalah berjudul Citra
Kepemimpinan dalam Sastra Indonesia Lama, mengenai arti penting
kesusastraan,
hal. 160
[2]
Antara kelisanan dan keberaksaraan menyatakan seakan-akan Indonesia berada di
dua kutub kultur, antara kelisanan dan keberaksaraan. Sehingga, muncullah
cerita-cerita rakyat yang mengalir dari mulut ke mulut tanpa ada kejelasan
siapa penutur pertama cerita tersebut. Atau barangkali cerita-cerita yang dekat
sekali dengan mitos tersebut merupakan hasil kreasi dari imajinasi masyarakat
untuk menanamkan nilai? Indonesia Antara
Kelisanan dan Keberaksaraan, A. Teeaw, hal. 39
[3]
Kesusastran Indonesia Lama Bercorak Islam,
Dr. Ismail Hamid, hal. 1-3
[4]
Pengantar Ilmu Sastra, Jan van
Luxemburg, hal. 6
[5]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra