Minggu, 11 November 2012

SASTRA MENURUT PARA AHLI


Sastra Menurut Ahli Bedah Sastra, Budayawan dan Sejarawan

Dari beberapa buku para ahli, yang menghiasi meja perpustakaan kecil saya dan berhasil saya baca, semakin luaslah capaian pengertian sastra. Saat itulah mata kita terbuka lebar dalam memandang dunia sastra dari sisi yang beragam. Keprihatinan para ahli dalam mempertahankan kedudukan penting sastra sebagai bagian dari bahasa, telah menghasilkan berbagai penelitian dalam mengembangkan bidang ilmu tersebut.
Dalam Bunga Rampai Bahasa, Sastra dan Budaya, kesusastraan bagi Achdiati Ikram adalah sebuah sarana untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatu bangsa atau kelompok manusia[1], yang dengan keanekaragaman menjadikan air jernih bagi para peneliti bahasa dan sastra; sebagai telaga yang tak pernah kering.
Penuturan Akhdiati Ikram dalam tulisannya, tidaklah salah. Karena pengertian sastra tersebut membawa kesan yang bermanfaat dan masuk dalam tatanan keberadaan masyarakat kita yang senantiasa mempertahankan nilai ketimuran, terlepas dari upaya mempersatukan nilai positif antara barat dan timur seperti dalam sajak Wolfgang Von Goethe, yang menyebutkan ‘barat dan timur adalah sama’. Pengertian sastra tersebut di atas telah mewakili kekokohan kedudukan sastra sebagai sebuah kreasi. Dan kreasi itu juga bias muncul dari adat beserta nilai-nilai yang bergulir dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat.


Lain lagi pendapat yang dipaparkan oleh A. Teeuw, seorang pengamat sastra Indonesia dari Belanda. Doktor Honoris Causa, Universitas Indonesia pada tahun 1975 ini menyebutkan kerangka sastra Indonesia dalam hubungan kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy)[2]. Pandangannya yang menarik perhatian public tentang aspek kelisanan dan keberaksaraan dalam sastra maupun bahasa Indonesia, merupakan sejumlah aspek penting dan bersifat praktis, namun seringkali dilupakan oleh kebanyakan pengamat sastra.
Maka kemudian, diperoleh sebuah kesimpulan, bahwa sastra adalah hasil dari daya kreasi masyarakat, yang tidak hanya menyinggung masalah keberaksaraan. Namun jauh dari pada itu, aspek kelisanan merupakan hal yang menting untuk dimunculkan ke permukaan sebagai sebuah karya sastra, dan memiliki kedudukan yang layak untuk sebuah pengertian tentang kesusastraan. Ingat, Soekarno, presiden pertama RI, selalu menggunakan tutur bahasa yang indah, menggoda dan berapi-api. Sehingga mampu mengalihkan semua pendengaran para audiensnya.
Itulah pandangan seorang pengamat sastra. Bagaimana bila sastra ditinjau dari pandangan aspek sejarah? Berikut ini yang ditempuh Dr Ismail Hamid dalam mendefinisikan Kesusastraan Indonesia, dengan interpedensi keterlibatan kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. Menurut tinjauan beliau, sebelum kesusastraan berupa tulisan, telah terlebih dahulu ada kesusastraan rakyat. Kongkret dari kesusastraan ini ditandai dengan adanya hikayat, mantra, ilmu kalam dan beberapa jenis lainnya[3] yang berkembang di masyarakat. Jadi, cukup jelas bahwa pengaruh agama sangatlah mendominasi lahirnya kesusastraan pada saat itu. Kesimpulan yang bisa kita ambi, karya-karya kesusastraan Indonesia lama adalah kalam (ucapan) sebagai media yang digunakan untuk menyampaikan ajaran Islam.
Dalam sejarah, sebuah peristiwa terjadi sekali. Namun, dalam wilayah kesusastraan, melalui sebuah pesan konkret, maka suatu peristiwa dibeberkan berkali-kali dengan lebih umum dan luas pada saat yang berlainan dengan terajadinya peristiwa tersebut. Bermula hal tersebut di atas, maka Jan van Luxemburg mengenalkan pengertian sastra secara historikal. Di sini dijelaskan tentang kesepahaman dua kaum dalam zaman yang berbeda; kaum romantis dan kaum formalis[4]. Kaum romantis menyebut sastra sebagai sebuah ciptaan (creation), yang mengandung keselarasan antara bentuk dan isi. Namun, kamu formalis berkata lain. Bagi kaum ini, kesusastraan ditentukan oleh letak penyajiannya. Kiasan yang berawal dari kreasi untuk mengumpamakan sesuatu, dianggap sebagai teks naratif bagi sebuah peristiwa yang diujarkan dalam pengungkapan bahasa kias tersebut. Sebagai contoh: Bulan tertusuk lalang. Bagi kaum romantis bahasa itu masih mengandung logika kata walau jauh dari logika peristiwa. Namun, hal itu akan ditolak oleh kaum formalis sebagai bahasa sastra. Akan lebih tepat bila ditulis: Bulan terhalangi ilalang.
Sastra Menurut Non-Ahli
Sebagai non-ahli, tak ada sedikit gambaran tentang pengertian sastra yang pemahamannya murni dari dalam diri saya. Akhirnya, saya mencoba memahami arah ‘kreasi’ para pemilik pengertian kesusastraan. Saya bertanya kepada mesin pencari digital ‘Google’, saya menemukan 79,200 halaman web, yang di dalamnya mengandung kata ‘kesusasatraan’. Kalau saya telusuri satu-persatu halaman di mesin pencari digital tersebut, maka habislah waktu saya untuk menelusuri pengertian kesusastraan. Bagitulah kebingungan yang melanda seorang non-ahli seperti saya.
Dalam sebuah halaman Wikipedia disebutkan, Sastra (Sanskerta:, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Berasal dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata sastra bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.[5]
Wah, pengertian bergaris bawah sangat kontradiktif sekali dengan pengertian-pengertian yang saya temukan dalam makalah dan sumber-sumber lainnya. Kalau ditelusuri, Wikipedia adalah perusahaan yang menaungi lembaga Ensiklopedia dunia, yang bebas diedit oleh para pengguna yang membuka halaman tersebut. Maka kemudian, hal itu mengingatkan saya kepada para pemuja GSM (Gerakan Syahwat Merdeka), dibawah naungan TUK (Teater Utan Kayu). Jangan-jangan, istilah terakhir tersebut ditambah oleh para dedengkot TUK. Karena media Wikipedia dibaca dunia, maka saya menghilangkan pengertian bergaris bawah tersebut.

Bagi saya, pengertian kesusastraan sangatlah sederhana. Kesusastraan adalah sebuah tradisi tutur-menutur, baik secara lisan maupun tulisan, untuk menyampaikan pesan yang baik dan benar. Kesusastraan merupakan sesuatu yang agung dalam berbagai bentuknya. Bukanlah karya yang statis, melainkan terus bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Beragam bentuk atau model kesusastraan yang dewasa ini berkembang dan diterima di tengah masyarakat justru akan semakin memperkaya khazanah kesusastraan yang dimiliki bangsa Indonesia.

[1] Dalam sebuah makalah berjudul Citra Kepemimpinan dalam Sastra Indonesia Lama, mengenai arti penting 
  kesusastraan, hal. 160
[2] Antara kelisanan dan keberaksaraan menyatakan seakan-akan Indonesia berada di dua kutub kultur, antara kelisanan dan keberaksaraan. Sehingga, muncullah cerita-cerita rakyat yang mengalir dari mulut ke mulut tanpa ada kejelasan siapa penutur pertama cerita tersebut. Atau barangkali cerita-cerita yang dekat sekali dengan mitos tersebut merupakan hasil kreasi dari imajinasi masyarakat untuk menanamkan nilai? Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, A. Teeaw, hal. 39
[3] Kesusastran Indonesia Lama Bercorak Islam, Dr. Ismail Hamid, hal. 1-3
[4] Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, hal. 6
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra

SEJARAH SINGKAT CERPEN




Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18